Kawilarang, Swastamita, dan Arunika
Swastamita kala di Manado
Punggung sempit memikul karung berisi kopra
Rinai hujan membasahi kaki telanjangnya
Baju lusuh pemberian mendiang opa menggiring langkah si kecil Kawilarang
Di pengujung jalan, ia menemukan dirinyalah si submisif
Baginya hidup adalah repetisi tak berujung dari bekerja, makan, dan bertahan dari kekejaman mereka yang mendominasi
Sejentik iri dan seribu kecewa menerkam sanubari anak kopra
"Opa Ye, kiapa kita pe nasib berbeda?"
Gelap menyelimuti langit kota
Perut keroncongan, nalar tak jalan, obsidian termangu bisu
Indurasmi bersinar di tengah sombongnya dunia malam Pertiwi
Sang Kawilarang menyelimuti badan ringkih ayah dengan sarung berbau minyak kayu putih
Pada ujung tangkai kering ia mengaku sakit
Pada kecupan angin di sudut Malalayang ia mengaku rindu
Bahkan ketika ia paham cara tersenyum
Semilir kisah tetap bermuara pada tangis yang kian tergerus
Sampai ingar-bingar jalanan mulai menghibur bagi malamnya
Namun Kawilarang mengadu berat
Pada titik rindu yang tersakit
Pada hati yang terlatih marah
Sang Kawilarang mengembuskan napas terakhirnya saat Arunika datang.
@nindiandraa
(2021)
Komentar
Posting Komentar